“Akhirnya kau bangun juga. Aku tidak berani membangunkanmu karena sepertinya tidurmu nyenyak sekali.” Kataku sambil meletakkan HP-ku diatas meja.
“Kau sudah baikkan?” tanyanya masih merasa cemas.
“Seperti yang kau lihat aku sehat.”
“Kalau begitu aku mau pulang dahulu.”
“Rath!”
“Apa?”
“Kurasa kau tidak bisa pulang karena lagi hujan badai begini.” Ocehku sambil menunjuk ke luar jendela. “Sepertinya ini hujan badai yang tidak seperti biasanya. Kau tidak mungkin pulang sampai besok pagi saat hujan reda.”
“Eh?”
“Kau ‘kan bisa menginap disini. Lagipula Ayah dan saudara-saudaraku sedang tidak ada dirumah. Mereka baru kembali besok lusa.” Tawarku padanya.
“Apakah tidak masalah untukmu? Bukankah masih ada pembantu di rumah ini?” Katanya ragu-ragu.
“Bi Isaa dan yang lainnya pada pulang karena mencemaskan keluarganya. Jadi aku tinggal disini sendiri sampai besok pagi, sudah biasa sih. Yah, terserah kamu kalau mau menerjang badai sendirian.” Kataku tersenyum sinis.
Kami berdua saling bersitegang seperti saling menahan nafas masing-masing. Tapi ditengah-tengah ketegangan itu telepon rumahku berdering. Siapa yang menelepon di saat seperti ini? Lalu kujawab telepon yang memanggilku untuk menjawabnya.
“Halo?”
“Hei, suara ini Lv? Kau sudah baikkan?” kata orang di seberang.
“Oh, Kira? Aku sudah baikkan kok. Ada apa?”
“Tidak, hanya mau tanya keadaanmu. Lho? Di rumahmu kok sepertinya sepi ya.”
“Memang, aku jaga rumah sendirian. Semoga saja ‘itu’ tidak muncul.”
“Oh ya, hantu yang kau maksudkan itu ya? Apalagi sedang hujan badai begini.”
“Aduh, Kira...jangan menakut-nakutiku dong! Kamu tahu aku takut dengan hal-hal berbau occultisme. Ini karena kau Alex, Alvin dan Jimmy membawaku ke gudang kosong itu!”
“Hahaha.. maaf, maaf. Kalau kau kesepian telepon saja ke aku. Bye, Lv.”
“Bye, Kira.”
Aku menghela nafas. Berharap agar Rath tidak tahu akan kelemahanku yang satu ini. Aku takut dengan hantu dan hal-hal yang berhubungan dengan dunia gaib. Tapi perasaanku sudah tidak enak karena hujan badai yang tiba-tiba begini. Untunglah tidak mati lampu. Tampaknya Rath sedang memikirkan tawaranku.
Akhirnya dia menerima tawaranku untuk tinggal disini sampai hujan badai reda. Aku tidak tahu apa alasan dia yang keras kepala dan jutek itu menerima tawaranku. Tapi entah apa yang akan dikatakan oleh Gracia bila kuceritakan kalau aku hanya berduaan dengan Rath malam ini. Tapi aku tidak ada perasaan dengannya. Apalagi sebaliknya, sangat tidak mungkin.
Setelah berpikir terlalu banyak aku menyiapkan makan malam diatas meja makan. Kalau soal makanan aku tidak pernah ambil pusing. Apalagi disaat tidak terlalu lapar seperti ini. Kami makan bersama tak mengobrol satu hal pun. Walau aku membuat sebuah candaan dia sama sekali tidak tertawa. Dasar cowok menyebalkan.
Setelah makan aku mengambil beberapa stel baju milik kakak tertuaku, Ren. Karena ketiga kakakku sekolah di luar negeri dan sekarang hanya tinggal aku dan dua saudaraku. Sepi rasanya, tidak bukan waktunya berpikir yang muluk-muluk. Aku menyerahkan beberapa stel baju itu kepada Rath dan memberitahukannya kamar yang akan ia tempati. Setelah kuberitahukan dia langsung mengurung dirinya di kamar.
Dapat kupastikan malam ini aku tidak dapat tidur lagi, mungkin lebih baik aku mendengarkan musik sambil menulis surat lagi untuk seseorang yang tidak kuketahui. Seseorang yang kusayangi dari lubuk hatiku yang paling dalam, yaitu kakak kembarku yang menggantikan diriku agar aku selamat saat dilahirkan. Ayah dan Ibu serta kakak-kakakku tidak menceritakannya padaku. Tapi aku mendengar hal itu dari nenek pihak Ibu. Padahal semua pihak keluarga diminta merahasiakannya dariku. Apakah yang namanya hidup itu membutuhkan sebuah pengorbanan agar terus tinggal? Aku menulis surat pada kakak kembarku yang tidak pernah kutemui kecuali dalam rahim Ibuku ini.
Dear my twin brother,
Bagaimana kabarmu? Aku masih merasa bersalah karena merebut hidupmu. Kalau saja kita bisa bersama, mungkin kau adalah orang yang sangat kusayangi, tapi sekarang pun aku menyayangimu. Kau adalah terangku....
Aku ingin kau mendengarkan ceritaku, hari ini ada seorang cowok yang menginap di rumah. Dia putra relasi Ayah. Namanya Rath. Dia diminta oleh ayah kita dan ayahnya untuk menjemputku di sekolah setiap hari. Entah apa maksudnya tapi... perasaanku jadi kacau karenanya. Padahal dia itu tidak pernah tersenyum dengan tulus, tidak pernah tertawa, jutek, keras kepala dan dingin. Mungkin dibilang sombong juga bisa... Tapi kadang ia begitu baik padaku, itulah yang membuat perasaanku kacau...
Kakak kembarku... Saint Sieg Ashta Sharon... aku akan baik-baik saja walau sendirian. Aku punya teman-teman yang bisa kuandalkan.
Sieg, kau tahu apa kesukaanku? Aku suka menyanyi, menggambar, dan segala hal yang berhubungan dengan seni. Tapi sepertinya aku lebih baik meninggalkan kesenanganku itu.
Sieg, andaikan kau masih hidup, aku ingin bersama-sama bermain di bukit ladang bunga... Aku akan terus merasa bersalah sampai aku mempunyai arti dalam hidup ini.... Bye, bye... brother....
Levi
“Kenapa harus aku yang mengalaminya?” gumamku menyesali segala sesuatunya. “Aku benar-benar sangat menyesal.....”
“Apa maksudmu dengan menyesal?” tanya Rath yang tiba-tiba saja mukanya berada tepat di depan mukaku.
“Huwaaa!!Copot, copot jantung eeh jantung..!!”
“Hei, memangnya aku hantu apa? Tidak perlu sekaget itu kali...”
“Jangan mengagetiku dong! Kau tahu aku...” kataku tidak melanjutkan kata-kata terakhir.
“Kau apa?”
“Kau tahu aku latah ‘kan?”
“Tidak, baru kali ini aku tahu kamu itu latah.”
“Ah, sudahlah tidak penting. Jantungku hampir copot karena kamu.” Kataku sambil berdiri dan berjalan menuju dapur.
“Kau mau kemana?”
“Ke dapur, mau mengambil minum.”
“Tidak takut sendirian?”
“........ Aduh!...” teriakku merasa kesakitan lagi di perut. Aku meringkuk kesakitan tak mampu untuk berjalan lagi.
Rath mendekatiku ia menggendongku ke kamar. Aku benar-benar bingung dengan sifatnya yang tak ramah namun baik hati. Ia benar-benar sulit ditebak. Lama kelamaan aku merasa mengantuk dan tertidur lelap.
Aku bermimpi aneh. Mimpi dimana aku menjadi seorang tuan putri yang menunggu kedatangan seorang pangeran yang akan membawanya dalam kebahagiaan sejati. Tapi semua tamat ketika sang penyihir menusukku dengan belati. Andaikan mimpi itu adalah nyata, apa yang akan kulakukan?