Sabtu, 25 Oktober 2008

Opposite Status - Phase 05 : Vacation Trap (part 1)

Akhirnya Rath bangun juga. Aku sedang memberi makan Fate dan kucing Persia peliharaanku, Mana di ruangan khusus untuk peliharaan. Setelah melakukan tugas sehari-hari, aku kembali ke ruang tengah.
“Akhirnya kau bangun juga. Aku tidak berani membangunkanmu karena sepertinya tidurmu nyenyak sekali.” Kataku sambil meletakkan HP-ku diatas meja.
“Kau sudah baikkan?” tanyanya masih merasa cemas.
“Seperti yang kau lihat aku sehat.”
“Kalau begitu aku mau pulang dahulu.”
“Rath!”
“Apa?”
“Kurasa kau tidak bisa pulang karena lagi hujan badai begini.” Ocehku sambil menunjuk ke luar jendela. “Sepertinya ini hujan badai yang tidak seperti biasanya. Kau tidak mungkin pulang sampai besok pagi saat hujan reda.”
“Eh?”
“Kau ‘kan bisa menginap disini. Lagipula Ayah dan saudara-saudaraku sedang tidak ada dirumah. Mereka baru kembali besok lusa.” Tawarku padanya.
“Apakah tidak masalah untukmu? Bukankah masih ada pembantu di rumah ini?” Katanya ragu-ragu.
“Bi Isaa dan yang lainnya pada pulang karena mencemaskan keluarganya. Jadi aku tinggal disini sendiri sampai besok pagi, sudah biasa sih. Yah, terserah kamu kalau mau menerjang badai sendirian.” Kataku tersenyum sinis.
Kami berdua saling bersitegang seperti saling menahan nafas masing-masing. Tapi ditengah-tengah ketegangan itu telepon rumahku berdering. Siapa yang menelepon di saat seperti ini? Lalu kujawab telepon yang memanggilku untuk menjawabnya.
“Halo?”
“Hei, suara ini Lv? Kau sudah baikkan?” kata orang di seberang.
“Oh, Kira? Aku sudah baikkan kok. Ada apa?”
“Tidak, hanya mau tanya keadaanmu. Lho? Di rumahmu kok sepertinya sepi ya.”
“Memang, aku jaga rumah sendirian. Semoga saja ‘itu’ tidak muncul.”
“Oh ya, hantu yang kau maksudkan itu ya? Apalagi sedang hujan badai begini.”
“Aduh, Kira...jangan menakut-nakutiku dong! Kamu tahu aku takut dengan hal-hal berbau occultisme. Ini karena kau Alex, Alvin dan Jimmy membawaku ke gudang kosong itu!”
“Hahaha.. maaf, maaf. Kalau kau kesepian telepon saja ke aku. Bye, Lv.”
“Bye, Kira.”

Aku menghela nafas. Berharap agar Rath tidak tahu akan kelemahanku yang satu ini. Aku takut dengan hantu dan hal-hal yang berhubungan dengan dunia gaib. Tapi perasaanku sudah tidak enak karena hujan badai yang tiba-tiba begini. Untunglah tidak mati lampu. Tampaknya Rath sedang memikirkan tawaranku.
Akhirnya dia menerima tawaranku untuk tinggal disini sampai hujan badai reda. Aku tidak tahu apa alasan dia yang keras kepala dan jutek itu menerima tawaranku. Tapi entah apa yang akan dikatakan oleh Gracia bila kuceritakan kalau aku hanya berduaan dengan Rath malam ini. Tapi aku tidak ada perasaan dengannya. Apalagi sebaliknya, sangat tidak mungkin.
Setelah berpikir terlalu banyak aku menyiapkan makan malam diatas meja makan. Kalau soal makanan aku tidak pernah ambil pusing. Apalagi disaat tidak terlalu lapar seperti ini. Kami makan bersama tak mengobrol satu hal pun. Walau aku membuat sebuah candaan dia sama sekali tidak tertawa. Dasar cowok menyebalkan.
Setelah makan aku mengambil beberapa stel baju milik kakak tertuaku, Ren. Karena ketiga kakakku sekolah di luar negeri dan sekarang hanya tinggal aku dan dua saudaraku. Sepi rasanya, tidak bukan waktunya berpikir yang muluk-muluk. Aku menyerahkan beberapa stel baju itu kepada Rath dan memberitahukannya kamar yang akan ia tempati. Setelah kuberitahukan dia langsung mengurung dirinya di kamar.
Dapat kupastikan malam ini aku tidak dapat tidur lagi, mungkin lebih baik aku mendengarkan musik sambil menulis surat lagi untuk seseorang yang tidak kuketahui. Seseorang yang kusayangi dari lubuk hatiku yang paling dalam, yaitu kakak kembarku yang menggantikan diriku agar aku selamat saat dilahirkan. Ayah dan Ibu serta kakak-kakakku tidak menceritakannya padaku. Tapi aku mendengar hal itu dari nenek pihak Ibu. Padahal semua pihak keluarga diminta merahasiakannya dariku. Apakah yang namanya hidup itu membutuhkan sebuah pengorbanan agar terus tinggal? Aku menulis surat pada kakak kembarku yang tidak pernah kutemui kecuali dalam rahim Ibuku ini.

Dear my twin brother,
Bagaimana kabarmu? Aku masih merasa bersalah karena merebut hidupmu. Kalau saja kita bisa bersama, mungkin kau adalah orang yang sangat kusayangi, tapi sekarang pun aku menyayangimu. Kau adalah terangku....
Aku ingin kau mendengarkan ceritaku, hari ini ada seorang cowok yang menginap di rumah. Dia putra relasi Ayah. Namanya Rath. Dia diminta oleh ayah kita dan ayahnya untuk menjemputku di sekolah setiap hari. Entah apa maksudnya tapi... perasaanku jadi kacau karenanya. Padahal dia itu tidak pernah tersenyum dengan tulus, tidak pernah tertawa, jutek, keras kepala dan dingin. Mungkin dibilang sombong juga bisa... Tapi kadang ia begitu baik padaku, itulah yang membuat perasaanku kacau...
Kakak kembarku... Saint Sieg Ashta Sharon... aku akan baik-baik saja walau sendirian. Aku punya teman-teman yang bisa kuandalkan.
Sieg, kau tahu apa kesukaanku? Aku suka menyanyi, menggambar, dan segala hal yang berhubungan dengan seni. Tapi sepertinya aku lebih baik meninggalkan kesenanganku itu.
Sieg, andaikan kau masih hidup, aku ingin bersama-sama bermain di bukit ladang bunga... Aku akan terus merasa bersalah sampai aku mempunyai arti dalam hidup ini.... Bye, bye... brother....

Levi

“Kenapa harus aku yang mengalaminya?” gumamku menyesali segala sesuatunya. “Aku benar-benar sangat menyesal.....”
“Apa maksudmu dengan menyesal?” tanya Rath yang tiba-tiba saja mukanya berada tepat di depan mukaku.
“Huwaaa!!Copot, copot jantung eeh jantung..!!”
“Hei, memangnya aku hantu apa? Tidak perlu sekaget itu kali...”
“Jangan mengagetiku dong! Kau tahu aku...” kataku tidak melanjutkan kata-kata terakhir.
“Kau apa?”
“Kau tahu aku latah ‘kan?”
“Tidak, baru kali ini aku tahu kamu itu latah.”
“Ah, sudahlah tidak penting. Jantungku hampir copot karena kamu.” Kataku sambil berdiri dan berjalan menuju dapur.
“Kau mau kemana?”
“Ke dapur, mau mengambil minum.”
“Tidak takut sendirian?”
“........ Aduh!...” teriakku merasa kesakitan lagi di perut. Aku meringkuk kesakitan tak mampu untuk berjalan lagi.
Rath mendekatiku ia menggendongku ke kamar. Aku benar-benar bingung dengan sifatnya yang tak ramah namun baik hati. Ia benar-benar sulit ditebak. Lama kelamaan aku merasa mengantuk dan tertidur lelap.
Aku bermimpi aneh. Mimpi dimana aku menjadi seorang tuan putri yang menunggu kedatangan seorang pangeran yang akan membawanya dalam kebahagiaan sejati. Tapi semua tamat ketika sang penyihir menusukku dengan belati. Andaikan mimpi itu adalah nyata, apa yang akan kulakukan?

Jumat, 04 Juli 2008

Opposite Status - Phase 04 : His Care About Me

Beberapa hari setelah jalan-jalan kemarin di sekolah aku merasa gampang bosan, pelajaran kesenian yang kusukai menjadi sangat menyebalkan . Padahal Pak Widian sudah membahas materi pelajaran yang sangat kusukai, seni olah vokal. Aku sendiri tidak tahu kenapa mood-ku bisa jadi begini. Apa jangan-jangan karena itu....

“Vi, Lv... kamu ‘gak apa-apa kan?” tanya Gracia cemas.

Badanku rasanya lemas. Mataku berkunang-kunang, perutku sakit... ada apa denganku?

“Hei, Lv! Kamu kenapa?” tanya Gracia lagi.

“E, entahlah. Badanku rasanya lemas sekali. Padahal aku sudah sarapan dan cukup tidurnya. Perutku sakit dan mataku berkunang-kunang nih.” Jawabku menyandarkan diri.

“Lv, jangan-jangan kamu belum ‘itu’ ya?” tanya Gracia menduga-duga.

“Maksud kalian ‘itu’ tuh apa?” sela Alex yang tiba-tiba ikut nimbrung. “Lv, kau lagi ‘gak enak badan ya?”

“Cowok ‘gak boleh tahu ‘itu’ tuh apa. Lagipula beneran nih, Lv kamu belum bulan ini?” kata Gracia.

“Mungkin dua bulanan. Soalnya aku lagi banyak pikiran sih...” ujarku lemas.

“Hm, kalau begitu tenang saja, hari ini kita hanya belajar setengah hari saja kok. Kan di surat pemberitahuan kemarin dikasih tahu, Vi. Ayahmu sudah membacanya kan?”

“Iya, nanti tinggal tunggu Pak Oman saja.” Kataku kesakitan.

Teng... Teng... Teng...

Bel sekolah berbunyi tiga kali tanda pulang sekolah. Levi bernafas lega, akhirnya ia bisa mengistirahatkan dirinya sementara. Tapi satu masalah muncul saat ia pergi ke tempat parkir. Mobil dan supir yang biasa menjemputnya tidak ada sama sekali di lapangan parkir ini.

“Ya ampun, Pak Oman kemana aja sih. Seharusnya sudah diberitahu Ayah kalau hari ini pulang cepat.” Dumelku.

“Hm, mungkin telat datang kali. Tunggu sebentar ya, aku mau kirim SMS dulu ke mamaku dulu.” Kata Gracia.

Alex yang memapahku berkata begini, “Tumben Pak Oman telat, padahal kan supir-supir yang ada di rumahmu itukan pada tepat waktu semua.”

“Yak, selesai. Mungkin sekitar 30 menitan lagi. Tenang aja, Lv... Aku bakal temenin kamu nunggu jemputan kok! Lagipula aku lesnya masih lama.”

“Ukh, Lex, tolong papah aku ke bangku yang ada disana deh. Aku ‘gak kuat berdiri lama-lama.” Pinta aku yang sudah sekarat, tak tahan dengan rasa sakit di perut.

“Oke.”

Alex lalu memapahku berjalan ke bangku dekat lapangan parkir. Aku duduk di bangku itu, nafasku terburu-buru, rasa sakit di perutku ini sudah tak tertahankan lagi. Dua puluh menit telah berlalu, masih ada waktu sepuluh menit lagi. Alex telah pulang duluan setelah dijemput oleh ibunya. Sedangkan Gracia masih berada di sampingku, walau supirnya sudah datang.

Dari pintu masuk parkiran aku melihat sebuah mobil hitam melintas masuk. Kulihat nomor plat mobilnya, F 312 WIN. Ketika mobil itu telah diparkirkan aku baru ingat siapa pemilik Toyota Camry itu, siapa lagi kalau bukan Rath? Yaah, dia memang datang menjemputku. Melihat Rath telah datang Gracia melambaikan tangannya pada Rath. Sepertinya aku telah diakalin oleh dua orang nih. Pertama Ayah dan kedua adalah Gracia. Kapan dia mendapatkan nomor HP Rath??

“Hei, sini kesini!” panggil Gracia.

“Maaf aku terlambat.”

“Hahaha...buatku sih tidak masalah tapi bagi Lv menjadi masalah. Dia lagi tidakk enak badan tuh. Dia juga mulai demam sih...” kata Gracia seperti sedang bercanda.

“Levi, kamu sakit?” tanya Rath padaku. Ia mendekatiku yang sedang bersandar di bangku taman. “Gracia, kamu benar... demamnya mulai naik.”

“Yah, dari tadi sih dia memang sudah lemas badan begitu. Lebih baik kau cepat membawanya pulang. Kasihan dia dari tadi sudah ngedumel ‘gak jelas gitu deh...”

“Iya, trims Gracia sudah mau menunggui Levi.”

“Tidak masalah. Oops! Sudah mau waktunya les nih. Oke, aku pergi duluan ya. Bye, Lv... moga-moga cepat baek ya.” Kata Gracia lalu pergi.

Rath memanggul ranselku dan menggendongku ke mobilnya. Aku sudah setengah sadar. Sekali lagi aku seperti menerima kebaikan dari dirinya. Perhatiannya terhadapku sungguh membuat diriku terkesan. Ia segera memacu mobil dengan kecepatan yang tinggi, tapi sayang jalanan macet disana-sini.

“Levi, bagaimana kalau ke rumah sakit saja? Demammu semakin tinggi. Aku khawatir kalau ada apa-apa.” Ujarnya mencemaskanku.

“Tidak perlu, lagipula ini sudah biasa. Demam ini hanya karena sakit di perut saja.”

“Tapi...”

“Ini hanya penyakit wanita saja kok!”

“Eh?”

“Hmpf... wanita itukan pasti datang bulan atau menstruasi ‘kan? Aku hanya telat dua bulan pasti jadi begini deh... Kalau sakitnya sekarang berarti besok aku akan datang bulan... Aduh, kok aku malah ngomong soal kewanitaan padamu sih. Dasar aku ini selalu saja...”

“Levi, sepertinya mukamu pucat. Apakah kemarin malam kau tidur?”

Aku rasanya ingin tertawa walau perut ini akan bertambah sakit bila aku tertawa.

“Hmpf... ahahaha... Rasanya ini pertama kalinya kau memanggilku dengan namaku. Dari tadi kau menyebut Levi, Levi... Aku senang...” kataku tersenyum.

‘Eh?”

“Terima kasih ya... aku....Zzzzzz...”

“Dasar...”

Rath...

Dasar, dia itu sepertinya selalu memaksakan dirinya... Lho? Kenapa aku jadi berdebar begini? Lucu juga wajahnya saat tidur... Ups, aku harus segera mengantarkannya ke rumah. Aku tak boleh jatuh cinta pada wajah tidurnya itu. Tidak mungkin aku yang sudah berumur diatas dua puluh tahun memacari gadis berumur empat belas tahun.

Ketika sampai di depan kediaman Sharon, Rath membopong Levi sampai ke kamar tidur. Karena Kakak atau Adik Levi belum ada yang pulang, keadaan menjadi agak repot. Sehingga Rath memilih tinggal dahulu sampai Levi bangun.

“Silahkan Nak Rath diminum teh manisnya.” Kata Bi Isaa, pembantu disana yang sudah bekerja disana sejak Levi masih kecil.

“Oh ya, terima kasih. Ngomong-ngomong, Bi, bagaimana keadaan Levi sekarang?”

“Sudah diberi obat penahan rasa sakit, satu jam lagi juga mungkin dia akan bangun.”

Guk...guk...guk...! Lolongan anjing terdengar dari teras halaman belakang. Rupanya Fate, anjing Collie peliharaan Levi ingin masuk ke dalam rumah. Bi Isaa pun membuka pintu geser dari kaca dan berframe kayu itu. Fate berlari masuk dan dengan pintarnya membuka pintu kamar Levi yang juga merupakan pintu geser dari kaca dan kayu juga. Pintu kamar lebih ringan daripada pintu menuju halaman. Fate terlihat sedih mendapati majikannya terbaring diatas tempat tidur.

“Wah, wah... Fate selalu saja duduk-duduk disitu kalau Non Levi sakit. Yah, dia memang ada untuk meringankan gerak tubuh nona.”

Kaing....guk... guk...guk...!

Satu jam kemudian aku terbangun. Aku mendapati diriku dijilati oleh Fate yang terus menungguiku di samping tempat tidur. Lalu aku bangun dari tempat tidur dibantu oleh Fate. Alasan kenapa Fate ada disini adalah aku sempat mengalami kebutaan sementara karena kemasukkan bakteri. Jadi Fate adalah anjing pemandu. Walau sebenarnya anjing pemandu itu seharusnya jenis Labrador atau Golden Retriever. Tapi karena aku senang anjing Collie maka dilatihlah seekor anjing collie agar bisa menjadi anjing pemandu dan jadilah Fate si Collie anjing pemandu.

Ketika aku ke ruang tengah aku melihat Rath tertidur dengan keadaan duduk di sofa dan tangan bersilang. Ternyata dia terus menunggu sampai aku bangun. Kuambil selimut dari kamarku dan kuselimuti Rath. Sebab udara mulai mendingin karena mendung. Sepertinya Kak Jack dan Xiana sama sekali belum pulang. Atau jangan-jangan mereka berdua langsung terbang ke Semarang. Kak Jack harus daftar ulang ke Universitas pilihannya, dan Xiana ikut untuk menemani. Apalagi Ayah, beliau hari ini saja tidak pulang karena ada urusan di luar kota. Sepinya rumahku...

Sabtu, 28 Juni 2008

Opposite Status - Phase 03 : Thinking About Her

Hari sudah larut, kami memutuskan untuk segera pulang. Pak Oman, supirku mengantar empat sahabatku pulang ke rumahnya masing-masing. Sedangkan aku diantar pulang oleh Rath dengan Camry hitamnya.

Aku terlalu kikuk bila berduaan dengan seorang cowok yang lebih tua. Aku memang payah dalam hal bersosialisasi hingga Ayah hampir memutuskan agar aku home schooling. Aku memang tipe orang yang pendiam. Aku tak berbicara sedikitpun. Sampai ia yang membuka pembicaraan.

“Kejadian hari ini jangan bicarakan pada siapapun ya.” Katanya.

“Kau tidak mau ayah kita mengetahuinya maksudmu?” tanyaku.

“Hampir seperti itulah. Lagipula aku hanya memenuhi permintaan ayahku saja.”

Aku terdiam sejenak, berpikir sedikit. Setelah semenit berpikir aku menjawab permintaan Rath, “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya pada siapapun. By the way, tidak masalah nih kau meninggalkan pekerjaanmu begitu saja?”

“Tidak masalah, toh aku juga sedang ambil cuti sementara karena diminta ibuku.” Sahutnya dingin.

Seperti ada badai salju menghantam hatiku. Rasanya dia begitu dingin dan menyeramkan bagi diriku yang sensitif ini, seperti hantu yang kutakutkan. Selama aku menyesuaikan diri aku tak menyangka sudah sampai lagi di rumah.

Dia membukakan pintu mobil untukku, menuntunku keluar layaknya seorang tuan putri.

“Terima kasih sudah diantarkan.” Ucapku sambil tersenyum.

“Tidak masalah.” Sahutnya sembari kembali ke mobilnya. Ia menyalakan mesin mobil dan bersiap pergi.

“Sebenarnya.....”

“Hm?”

“Sebenarnya karena kau menemaniku, aku tak perlu sangat ketakutan. Rasanya nyaman. Hari ini sungguh menyenangkan karena kau, terima kasih.” Kataku dengan wajah memerah.

“Ya.”

Rath segera menancap gas, melaju dengan kecepatan yang tinggi. Hingga mobilnya tak terlihat lagi. Aku masuk ke dalam rumah dan berlari kearah kamarku. Aku merasa gelisah dan emosional.

“Apa yang kurisaukan?” tanyaku pada diri sendiri.

Setelah membersihkan diri aku duduk di depan meja belajarku. Menulis sebuah surat untuk seseorang yang tak kuketahui.

-{-

Rath.....

Setelah Rath mengantarkan Levi sampai rumah ia memutar arah ke rumahnya. Ketika tiba di rumahnya. Pak Jun seperti sudah menantikan kedatangannya. Rath tahu maksud ayahnya. Dengan santainya dia masuk ke kamarnya. Sebelumnya Pak Jun sempat bertanya padanya.

“Bagaimana harimu hari ini?” tanya Pak Jun.

“Biasa saja.” Jawabnya dingin seperti biasa.

Ia membaringkan tubuhnya diatas ranjang empuk dengan cover bed berwarna krem. Ia masih memikirkan kejadian siang tadi. Ketika nonton di bioskop dan makan di food court. Ia banyak berpikir tentang Levi, gadis yang ia baru kenal.

Hmpf,ternyata dia takut degan hantu dan semacamnya ya? Dia takut dengan film horror, tapi sangat suka dengna film-film lucu. Dia juga sangat suka dengan lemon tea....Lho? Kenapa aku jadi mikirin Levi melulu sih... Diakan cuma anak-anak. Tapi rasanya ketika melihat senyumnya yang terakhir, kenapa aku jadi merasa deg-degan ya? Dia seperti bukan anak-anak di hadapanku.... Sudahlah, akan kupastikan lagi besok....

Rath tertidur setelah memikirkan Levi. Tidur dengan lelapnya karena kecapaian. Semoga bermimpi indah.

Jumat, 27 Juni 2008

Opposite Status - Phase 02 : Menakutiku? Menenangkanku

Semester baru dibuka. Aku menghadiri upacara membosankan ini dengan tidak niat. Teman baikku, Gracia menepuk pundakku agar aku tetap semangat.
“Semangat dong, Lv! Kamu ‘gak mau kalah sama Alvin atau Riana kan?” kata Gracia.
Aku memandang Gracia dengan mata kuyu. “Aku bukannya ‘gak semangat, tapi aku capek habis begadang buat bikin klipping liburan semester tiga!”
“And?”
“Dan klipping itu belum selesai di bagian tahun baru kemarin.”
“Um, aku tahu kamu kurang tidur, tapi sabar aja bentar lagi Pak Musi juga selesai pidatonya. Pulangnya kita ke Mall dulu yuk!” ajak Gracia.
“Uwaah!! Graci emang paling oke!” seruku mengacungkan kedua jempol tanganku.
“Kita nonton di Elos Plaza aja. Sekalian katanya Ricky mau nonton juga sama guys yang lain.”
“Tapi kamu ada-ada aja deh, aku kan pengen tidur. Kalau ke bioskop berarti tetap aja bikin mengantuk.”
“Yah, nontonnya film horror dong! Kalau yang lucu sudah pasti kamu bakal ketiduran....”
Aku terbengong-bengong mendengar Gracia mengajakku menonton film horror. Padahal aku inikan takut sama film-film hantu tanah airku ini! Tapi bisa-bisa nanti ketahuan kalau aku takut dan Gracia akan menjahiliku dengan topeng hantunya itu. Mama....mia...., pikirku.
Aku menampar kedua pipiku. Kanan—kiri kutampar dua-duanya. Memang sakit tapi bisa membuat mataku terbuka untuk saat ini. Akhirnya Pak Musi selesai juga dengan ceramahnya itu. Upacara pun selesai dan anak-anak bubar untuk pulang.
Aku menunggu Gracia yang belum selesai beres-beres di depan ruang kelas. Sesekali aku menguap karena kantuk. Lalu kami menemui Ricky, pacarnya Gracia. Ternyata Ricky mengajak Rif dan Shelly. Ternyata hanya aku sendiri yang tidak ada pasangan.... Yah, biarlah toh kami hanya mau nonton di bioskop saja. Kami akan pergi ke Elos Plaza dengan mobil Alpard yang menjemputku seperti biasa.

Ketika berjalan melewati gerbang sekolah aku melihat seorang cowok berdiri disana seperti sedang mencari-cari seseorang. Tapi rasanya aku kenal dengan orang itu. Tapi siapa?
“Hei, Lv ngapain kamu lihat cowok yang di depan itu? Kayaknya mencurigakan deh....” kata Ricky curiga.
“...... dia....diakan Rath?” gumamku dengan tatapan mata tertuju pada cowok di depan.
“Haaah? Memang dia kenalan kamu, Vi?” tanya Gracia.
“Tidak terlalu kenal sih, hanya saat tahun baru kemarin aku berkenalan dengannya....”

Lalu cowok yang ternyata adalah Rath itu melihatku dan berjalan kearahku. Glek! Aku merasa dia marah padaku, tapi aku salah apa ya. Ketika dia sudah tepat berada semeter di depanku aku bertanya padanya,
“Selamat pagi, kenapa kamu ada disini?”
Rath menjawab, “Aku diminta ayahku dan ayahmu untuk menjemputmu di sekolah setiap hari.”
“Lho? Untuk apa? Aku kan sudah ada supir yang mengantar jemput. Tu, tunggu dulu Ayah tidak bilang padaku kalau kau akan datang untuk menjemputku...”
“Entahlah, jadi bagaimana? Apakah kamu mau kuantar pulang?” tanyanya malu-malu mengalihkan pandangannya dariku.
Aku tersenyum geli melihatnya malu-malu seperti itu. Aku terpikirkan sesuatu dan menjawab pertanyaannya, “Boleh saja, tapi kau harus ikut aku dan teman-temanku main di Elos Plaza. Karena ada Pak Oman yang jadi supirku, mubazir kan kalau kuminta pulang dan lagi aku tidak mau membatalkan rencana ini dengan teman-temanku.”
“Oke, aku memang sedang minta cuti selama sebulan sih...”
“Ya sudah. Oke guys, kita senang-senang setelah stress diceramahin Pak Musi!” seruku begitu semangat.
“Udah ‘gak ngantuk lagi Lv?” tanya Gracia.
“Mataku jadi melek setelah kena sinar matahari nih.” Jawabku.

Kami lalu pergi ke Elos Plaza. Hanya memakan waktu 30 menit dari sekolah. Untunglah kami tidak telat, filmnya masih agak lama mainnya. Setelah membeli tiket, kami membeli camilan untuk nonton nanti. Rasanya aku masih cukup kenyang setelah makan pagi tadi sehingga aku hanya membeli popcorn dan minuman lemon tea saja.
Ketika filmnya akan dimulai kami sudah duduk di bangku bioskop. Tapi anehnya Gracia yang mengatur tempat duduk malah membuat tempat dudukku dan Rath terpisah jauh dari teman-teman yang lain. Selama trailer di bioskop aku berkali-kali menggumam kata-kata ‘horror’ karena aku takut dengan jenis film ini. Apa yang harus kulakukan?
Film dimulai dengan prolog yang agak menakutkan. Menampilkan sebuah rumah hantu di Jakarta. Entah dimana tapi aku merasa seram dengan bangunan tua itu. Tiba-tiba terdengar suara dari speaker bioskop. Suara yang kecil seperti berbisik-bisik dan makin lama kian membesar. Dan saat prolog tersebut selesai muncul hantunya. Badanku terdorong karena terkejut dan takut. Untunglah cerita bagian hantu muncul itu sudah berakhir dan ke masa-masa tenang. Selama masa-masa tenang itu aku sampai menghabiskan popcorn yang kubeli. Dan dimulailah bagian-bagian klimaks yang banyak adegan menyeramkan. Aku gemetaran, berkeringat dingin dan sampai menitikkan air mata. Takut, aku tak tahan lagi menonton film seperti ini. Aku sama sekali tidak dapat memejamkan mataku. Takut kalau hantu itu akan muncul didepan, belakang atau disebelahku.
Rath menggenggam tanganku yang bergemetar dan menghapus air mataku dengan tangannya yang besar. Dia tahu kalau aku ketakutan. Tapi karena menangis aku mulai merasakan kantukku lagi dan ketiduran selama film berlangsung. Rath menahan kepalaku di pundaknya agar tidak jatuh ke orang di sebelah. Mungkin dia orang yang baik.
Akhirnya film itu selesai. Aku dibangunkan oleh Rath dan berjalan keluar dari studio bioskop ini sambil menyedot lemon tea yang tersisa. Aku memintanya menunggu sebentar selama aku ke toilet. Rasanya mataku lebih segar daripada tadi. Aku terbayang dengan film horror tadi. Begitu keluar dari toilet, Rath sudah bersama Gracia cs yang menungguku, Shelly, dan Rif yang ternyata juga ke toilet. Sambil menunggu Shelly dan Rif aku melihat jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul 12.30. Sudah waktunya makan siang lagi.
“Lv, mau makan dimana nih?” tanya Ricky.
“Terserah, aku sih tidak masalah dimana aja. Rath, kau makan sesuatu yang tertentu misalnya? Kamu tidak vegetarian seperti ayahmu kan?” tanyaku.
“Tidak, aku tidak vegetarian. Aku terserah kalian, dimana saja tidak apa-apa kok.” Jawab Rath.
“Kalau begitu kita makan di food court saja. Jadi banyak pilihannya. Lagipula Ricky, Rif dan Lv ‘kan banyak makannnya.”
“Graci, jangan bilang-bilang dong! Tapi yang lebih parah ‘kan Ricky dan Rif. Apalagi kalau ada Eru.” Kataku sebal.
“Eru siapa?” tanya Rath.
Shelly dan Rif akhirnya keluar juga dari toilet. Gracia tersenyum puas. Ia meminum minumannya yang juga belum habis itu. Aku sama sekali lupa memperkenalkan teman-temanku pada Rath. Bodohnya aku.
“Namamu Rath kan? Perkenalkan aku Gracia, Gracia Hilton. Cowok disebelahku ini pacarku, Ricky dan dua orang yang baru keluar dari toilet itu Shelly dan Rif.” Ujar Gracia. “Lv ‘kan pelupa, mana mungkin dia ingat apa yang harus dia lakukan.”
“Graci! Kau membocorkan segala kecerobohanku!” seruku.
Gracia hanya tersenyum nyengir, ia benar-benar membuatku salah tingkah didepan Rath. Tapi sepertinya Rath sedikit bingung kenapa aku yang bernama Levi ini malah dipanggil Elvi alias Lv. Ketika Rath menanyakan sebabnya aku hanya menjawab dengan singkat.
“Hanya untuk seru-seruan saja.”
“Seru-seruan?”
“Ya, namanya juga anak remaja pasti masing-masing ingin mempunyai sesuatu yang berbeda ‘kan?” kataku. “Jadi inilah hasilnya namaku jadi dipanggil Lv, Gracia—Graci, Rif itu nama panjangnya Rifal lho!”
“Aku benar-benar tidak mengerti mungkin karena kelamaan kuliah di Amerika.” Gumam Rath.
“Amerika? Jadi kau lulusan sana ya? Pantas terlihat beda 1% dari sepupuku.” Kata Ricky.
“Argh, kelamaan menunggu aku jadi lapar. Yuk, kita langsung ke food court.” Ajak Gracia yang sudah setengah mati kelaparan.

Masing-masing berpencar mencari makanan favoritnya masing-masing. Aku tidak mempedulikan soal makanan asalkan tidak pedas-pedas amat. Aku lebih memilih ke KFC daripada yang lain. Aku bertanya-tanya dengan beberapa hal pada diriku sendiri. Termasuk kehadiran Rath hari ini.
Makanan yang kupesan sudah lengkap semuanya. Sepertinya hanya aku sendiri yang sudah selesai. Lebih baik aku cari tempat agar tidak pegal memegang nampan yang berat. Ada meja untuk enam orang, untunglah. Aku duduk menunggu yang lainnya. Tempat yang kudapat mudah dilihat dan ditemukan. Gracia, Ricky, lalu Shelly. Ketiganya masing-masing membawa nampan dengan begitu banyak macam makanan yang mereka beli. Aku rasa lebih baik aku tidak banyak bicara dahulu, karena pasti yang akan dibahas adalah film yang tadi.
“Kok dua orang itu lama sekali ya?” Kata Shelly.
“Kalau Rif sih pasti dia bingung mau pilih yang mana.” Ujar Ricky.
“Kalau Rath?” tanya Shelly. “Lv?”
“Aku sama sekali ‘gak tahu apa-apa tentang dia. Sifatnya saja menyebalkan. Dibalik topeng tersenyumnya aku ‘gak suka. Karena dia anak relasi ayah jadi aku mau tidak mau harus memakai bahasa halus walau berada di depan kalian.”
“Wekz?! Kukira dia seperti semacam tunanganmu atau apalah. Karena dia mengatakan mau menjemputmu.” Ujar Ricky.
“Sudahlah, aku tidak mau stress hanya karena memikirkan masalah tidak penting.” Kataku ketus.
Lalu akhirnya Rif dan Rath datang juga. Keempat yang lainnya sudah makan duluan. Tapi ditengah keasyikkan mengisi perut itu HP seseorang berdering. Ternyata HP Rif.

o Horee!! Akhirnya aku dapet game ‘Vestraya Hope’ yang kalian bicarakan itu!!! Sumpah susah bgt dptnya!! Eru

“Oh, si Eru baru dapet game Vestraya Hope, biasa maniak game pasti kayak gitu.” Kata Rif.
“Game? Vestraya Hope ya? Aku sudah selesai dari minggu kemarin.” Kataku sudah selesai makan sembari menyedot minuman kesukaanku.
“Hah?! Kau sudah selesai lagi, Vi?!” seru Shelly.
“Iya, mudah-mudah aja sih asal kita tahu teka-teki di cerita gamenya.”
Gracia memandangiku dan asal berkata, “Lv, kau minum lemon tea lagi? Ampun deh, mentang-mentang minuman kesukaanmu.”
“Biarin aja. Yang penting aku suka ini. Habis enak sih.” Kataku tak peduli.
Kalimat demi kalimat bermunculan hingga sampai berganti topik mengenai film horror itu. Aku tidak mau mengingat film itu lagi. Ketika ditanyai kesan-kesannya aku malah menjawab,
“Tidak ada kesan yang baik untukku, aku inikan benci film-film horror seperti itu.” Kuakui jujur.
Aku sudah menduga reaksi mereka pasti akan sangat terkejut. Memang kenyataan kalau aku takut film horror berbeda jauh dengan sifatku ini. Tapi tidak masalah bagaimanapun sifatku atau ketakutanku ini. Selama aku menjad diriku sendiri semua tidak masalah.

Opposite Status - Phase 01 : That Guy

Sesuatu yang kita angan-angankan kadang terwujud. Begitu juga dengan diriku. Aku bisa berpacaran dengan cowok yang kusukai saja itu seperti mimpi. Kalau mimpiku menjadi kenyataan inilah salah satunya dari angan-angan yang sangat dibilang hampir tidak mungkin terwujud. Semua hal bisa terjadi asalkan kita mau berusaha.

Alkisah bermula dari diriku yang jatuh cinta pada seorang cowok yang dingin dan penuh senyum palsu. Namaku Eve Levi Ashta Sharon, namaku panjang ya? Panggil saja Levi atau teman-temanku menyingkatnya menjadi Lv. Di usiaku yang kesepuluh aku jatuh cinta pada putra teman bisnis ayahku hanya dari sebuah foto. Ya Tuhan, tampannya dia. Tapi pemikiran itu berubah drastis ketika saat usiaku empat belas tahun.
Ketika untuk pertama kalinya aku bertatap muka dengannya, aku baru tahu bagaimana orang yang aslinya. Dia sangat pendiam, jutek, dan menyebalkan. Dia memberikan senyum palsu kepada semua orang termasuk kepada ayahku. Yah dia lebih tua dariku, sekitar 8-10 tahunan. Dia sudah dewasa sedangkan aku masih remaja. Senyum palsunya itu adalah senyum bisnis, karena ia sudah bekerja di perusahaan ayahnya. Aku sangat anti dengan senyum palsu seperti itu, sehingga aku dapat membedakannya.

Kami pertama kali bertemu saat teman bisnis ayahku mengadakan pesta tahun baru. Aku hanya bisa menggelengkan kepala apabila diminta ikut. Tapi kali ini aku mau ikut karena tidak ada pekerjaan sama sekali. Sebenarnya aku agak benci berdandan, bersolek menjadi perempuan yang narsis dan pesolek. Tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Memakai high heels membuatku tersiksa, lalu gaun berwarna biru muda yang hanya sepanjang lutut membuatku terlihat seksi. Bagian punggung yang terbuka membuat kulitku yang berwarna coklat kuning ini terlihat. Entah apa reaksi orang-orang.

Berjalan diatas karpet merah layaknya seorang selebritis. Menebar senyum manis untuk difoto. Mungkin tampangku saat ini sangat mengerikan karena tersiksa dengan high heels ini. Ketika ayahku berbincang dengan para relasi bisnisnya aku lebih baik menyingkir agar tidak mengganggu.
Aku berkeliling di rumah besar Pak Jun, teman ayahku dan juga ayah dari cowok itu. Aku lebih senang menyendiri di tempat yang sepi. Rasanya nyaman udara di taman. Daripada terus berdiri lebih baik aku duduk di kursi taman ini. Kalau kakak dan adikku sih memang betah dengan keramaian seperti ini. Entah keturunan dari siapa sifatku ini. Disinilah aku bertemu dengan cowok itu.
Dia keluar dari bangunan. Ia menyeka kacamatanya yang penuh dengan embun. Pertamanya aku sungguh senang sampai akhirnya dia berdumel.
“Capeknya senyum-senyum di depan teman-teman ayah. Kenapa aku harus melakukannya. Capek meladeni om-om bermuka tebal di dalam.” Dumelnya.
Mendengar dumelannya itu aku langsung bersembunyi. Kok tidak seperti yang ada di foto dan yang diceritakan oleh ayah ya?!, kataku dalam hati. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya dan memberanikan diri untuk keluar dari tempat persembunyianku. Ketika mencoba berdiri aku tersandung karena sepatuku yang seperti ini. Dia menyadari kehadiranku dan menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya membantuku berdiri.
Dengan lembutnya ia bertanya padaku, “Kau tidak apa-apa?”
“Ah yah, aku tidak apa-apa.” Jawabku. “Terima kasih.” Ucapku sambil tersenyum.
Dia membalas senyumku. Aku takut kalau aku jatuh cinta padanya. Hingga saat kami berdua dipanggil oleh ayah kami masing-masing.
“Perkenalkan ini putri sulung saya, namanya Levi.” Kata Ayah mempekenalkan diriku pada Pak Jun dan putranya.
“Oh, gadis yang cantik. Ah ya, ini putra sulungku yang akan meneruskan perusahaanku, namanya Rath.”
“Salam kenal.” Salamku dan Rath bersamaan.
“Oh ya, Pak Happy, putri anda umurnya berapa ya? Kelas berapa?” tanya Pak Jun.
“Aduh, Levi umurmu sekarang berapa? Enam belas tahun ya?” ujar Ayah masih bertanya-tanya.
“Umurku empat belas tahun, aku kelas dua SMP.” Jawabku.
“Empat belas tahun tapi sudah sebesar ini? Wah, hebatnya! Bagaimana kalau kita jodohkan kedua anak kita?” tawar Pak Jun.
“Wah, boleh juga. Tapi entah karena ajaran istri saya, anak-anakku tidak pernah mau dijodohkan.”
“Sayang ya. Hm, sama saja seperti Rath, dia tidak pernah mau dijodohkan.”
Fiuh, aku selamat agar tidak dijodohkan dengan Rath. Mana mau aku bertunangan dengan cowok seperti dia! Lebih baik sama teman sekelasku Kira, Alvin, Alex atau Jimmy. Sifat mereka lebih baik dan juga tampan. Mereka sahabat-sahabat terbaikku dan mereka mengerti aku begitu juga sebaliknya. Kalau aku ditanya mau menikah dengan siapa aku pasti akan menjawab diantara keempat orang itu daripada aku harus menikah dengan Rath.

Lalu aku kembali pergi mencari-cari adikku, Xiana yang keluyuran. Ayahku dan Pak Jun sepertinya ada niat dan rencana tersembunyi. Firasatku mengatakan begitu. Malam ini akhirnya selesai juga dengan ditutupi kembang api tahun baru.

To be continue... in next phase...